Islamic Widget



Abdullah bin Umar radhiyallohu 'anhu berkata, "Manusia akan senantiasa berada di jalan yang lurus selama mereka mengikuti jejak Nabi shalallahu alayhi wasallam". (HR. Baihaqi, Miftahul Jannah no.197)

Isnin, 19 September 2011

Kedudukan As-Sunnah Dalam Islam

Syaikh Muhammad Nashiruddin al Albani

Allah ta’ala telah memilih Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan nubuwwah, memuliakannya dengan risalah, menurunkan kepadanya kitabNya Al Qur`anul Karim dan memerintahkannya untuk menerangkan kepada manusia. Allah berfirman,

… وَأَنْزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ…

“Dan Kami turunkan kepadamu Adz Dzikr (Al Qur`an) agar engkau jelaskan kepada manusia, apa-apa yang diturunkan bagi mereka.” (An Nahl: 44).

Menurut pandanganku (Al Albani), Al Bayan (penjelasan) yang disebutkan dalam ayat ini mencakup dua macam penjelasan:

1. Penjelasan lafazh dan susunannya, yaitu penyampaian Al Qur`an tidak menyembunyikannya dan menyampaikan kepada umat, sebagaimana Allah ta’ala menurunkannya kepada beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam. Inilah yang dimaksud dengan firman Allah ta’ala,

يَاأَيُّهَا الرَّسُولُ بَلِّغْ مَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ مِنْ رَبِّكَ…

“Wahai Rosul, sampaikanlah apa-apa yang diturunkan kepadamu dari Rabbmu…” (Al Maidah: 67).

Telah berkata Sayyidah Aisyah radhiyallahu ‘anha dalam haditsnya,

مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ مُحَمَّدًا صلى الله عليه و سلم كَتَمَ شَيْئًا أُمِرَ بِتَبْلِيْغِهِ فَقَدْ أَعْظَمَ عَلَى اللهِ الْفَرِيَّةَ.

“Barangsiapa mengatakan kepada kalian bahwa Muhammad shollallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan perintah yang dia diperintahkan untuk menyampaikannya berarti ia telah berbuat kedustaan yang besar kepada Allah.” Kemudian beliau membaca ayat tersebut. (Riwayat Bukhori dan Muslim).

Dalam riwayat Muslim, “Kalau Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menyembunyikan suatu perkara yang disuruh untuk disampaikan sungguh dia akan menyembunyikan firman Allah ta’ala,

وَإِذْ تَقُولُ لِلَّذِي أَنْعَمَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَأَنْعَمْتَ عَلَيْهِ أَمْسِكْ عَلَيْكَ زَوْجَكَ وَاتَّقِ اللَّهَ وَتُخْفِي فِي نَفْسِكَ مَا اللَّهُ مُبْدِيهِ وَتَخْشَى النَّاسَ وَاللَّهُ أَحَقُّ أَنْ تَخْشَاهُ…

“Dan (ingatlah), ketika kamu berkata kepada orang yang Allah telah melimpahkan nikmat kepadanya dan kamu (juga) telah memberi nikmat kepadanya: ‘Tahanlah terus istrimu dan bertakwalah kepada Allah’, sedangkan kamu menyembunyikan di dalam hatimu apa yang Allah akan menyatakannya, dan kamu takut kepada manusia, sedangkan Allah-lah yang lebih berhak diikuti.” (Al Ahzab: 37).

2. Penerangan makna lafazh atau kalimat atau ayat yang membutuhkan penjelasannya. Yang demikian ini banyak dalam ayat-ayat yang mujmal (global), ammah (umum), atau mutlaq. Maka datanglah sunnah menjelaskan yang mujmal, mengkhususkan yang umum dan membatasi yang mutlak. Yang demikian ini semuanya terjadi dengan perkataan beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terjadi pula dengan perbuatan dan taqrir beliau.

Pentingnya Sunnah untuk Memahami Al Qur`an dan Contoh-contohnya.

Firman Allah,

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا…

“Pencuri laki-laki dan perempuan, potonglah tangan mereka…” (Al Maidah: 38). Ayat ini merupakan contoh yang baik dalam masalah ini, karena kata pencuri dalam ayat ini bersifat mutlak, demikian juga tangan. Jadi, sunnah qouliyah menerangkan yang pertama (yaitu pencuri) dengan membatasi pencuri yang mencuri 1/4 dinar dengan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Tidak dipotong tangan kecuali mencapai 1/4 dinar atau lebih…” (HR Bukhori Muslim).

Sebagaimana sunnah menerangkan maksud “tangan” dengan perbuatan beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam, perbuatan shohabatnya dan kesepakatannya bahwa mereka dahulu memotong tangan pencuri pada batas pergelangan, sebagaimana telah dikenal dalam kitab-kitab hadits.

Demikian pula tatkala sunnah qouliyah menerangkan ayat tentang tayammum,

… فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ…

“Usapkanlah pada wajah-wajah dan tangan-tangan kalian…” (Al Maidah: 6). Maksud tangan di sini adalah telapak tangan, hal itu berdasarkan dengan sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam,

التَّيَمُّمُ ضَرْبَةٌ لِلْوَجْهِ وَ الْكَفَّيْنِ

“Tayamum itu dengan mengusap wajah dan kedua telapak tangan.” (HR Bukhori, Muslim, dan selain mereka dari hadits ‘Ammar bin Yasir radhiyallahu ‘anhu).

Demikian pula sebagian ayat-ayat lain yang tidak mungkin dipahami dengan pemahaman yang benar sesuai dengan keinginan Allah ta’ala kecuali dari jalan sunnah seperti:

1. Firman Allah ta’ala,

الَّذِينَ ءَامَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ

“Orang-orang yang berimah dan tidak mencampur adukkan iman mereka dengan kezholiman (syirik), mereka itulah orang-orang yang mendapatkan keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.” (Al An’am: 82).

Para shohabat Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam telah memahami perkataan beliau (azh zhulm) secara umum yang mencakup segala bentuk kezholiman walaupun kecil. Oleh karena itu ayat ini menjadi berat bagi mereka, sehingga mereka berkata, “Ya Rosulullah, siapa di antara kami yang tidak bercampur keimanannya dengan kezholiman?” Maka Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam menjawab,

لَيْسَ بِذَلِكَ, إِنَّمَا هُوَ الشِّرْكُ. أَلاَ تَسْمَعُوْنَ قَوْلَ لُقْمَانَ: إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ.

“Tidak demikian yang dimaksud. Tetapi yang dimaksud zhulm (kezholiman) di sini adalah syirik. Tidakkah kalian menyimak perkataan Luqman: ‘Sesungguhnya syirik itu adalah kezholiman yang besar’.” (HR Bukhori, Muslim, dan lainnya).

2. Firman Allah ta’ala,

وَإِذَا ضَرَبْتُمْ فِي الأَرْضِ فَلَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَنْ تَقْصُرُوا مِنَ الصَّلاَةِ إِنْ خِفْتُمْ أَنْ يَفْتِنَكُمُ الَّذِينَ كَفَرُوا…

“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu menqoshor sholat(mu), jika kamu takut diserang orang-orang kafir. Sesungguhnya orang-orang kafir itu adalah musuh yang nyata bagimu.” (An Nisaa`: 101).

Zhohir ayat ini menghendaki dikerjakannya sholat qoshor dalam safar itu dengan syarat adanya perasaan takut. Oleh karena itu shohabat Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bertanya kepadanya, “Apakah kita menqoshor padahal telah aman?” Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Ini adalah shodaqoh, Allah bershodaqoh dengannya kepada kalian, maka terimalah shodaqohNya.”

3. Firman Allah,

حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ…

“… diharamkan bagi kalian bangkai dan darah…” (Al Ma`idah: 3).

As Sunnah menerangkan bahwa bangkai yang halal adalah bangkai belalang dan ikan, sedangkan hati dan limpa termasuk darah yang halal. Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam berdabda,

أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَ دَمَانِ: الْجَرَادُ وَ الْحُوْتُ (أَيِ السَّمَكُ بِجَمِيْعِ أَنْوَاعِهِ), وَ الْكَبَدُ وَ الطِحَالُ.

“Dihalalkan bagi kita dua bangkai dan dua darah yaitu bangkai belalang dan ikan (semua jenis ikan) serta hati dan limpa. (HR Baihiaqi dan lain-lain, shohih mauquf).

4. Firman Allah,

قُلْ لاَ أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا أَوْ لَحْمَ خِنْزِيرٍ فَإِنَّهُ رِجْسٌ أَوْ فِسْقًا أُهِلَّ لِغَيْرِ اللَّهِ بِهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلاَ عَادٍ فَإِنَّ رَبَّكَ غَفُورٌ رَحِيمٌ

“Katakanlah: Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir atau daging babi karena sesungguhnya semua itu kotor, atau binatang yang disembelih atas nama selain Allah. Barangsiapa yang dalam keadaan terpaksa sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka sesungguhnya Tuhanmu Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Al An’am: 145).

Kemudian datanglah sunnah mengharamkan sesuatu yang tidak disebut dalam ayat ini seperti sabda beliau shollallahu ‘alaihi wa sallam,

كُلُّ ذِيْ نَابٍ مِنَ السِّبَاعِ وَ كُلُّ ذِيْ مِخْلَبٍ مِنَ الطَّيْرِ حَرَامٌ.

“Setiap binatang buas yang bertaring dan setiap burung yang berkuku pencakar haram.”

Dalam bab ini ada hadits-hadits lain yang melarang dari hal selain itu seperti sabda Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu perang Khaibar,

إِنَّ اللهَ وَ رَسُوْلَهُ يَنْهَيَانِكُمْ عَنِ الْحُمُرِ الإِنْسِيَّةِ فَإِنَّهَا رِجْسٌ.

“Allah dan RosulNya melarang kalian dari (memakan) himar yang jinak karena dia rijs (kotor).” (HR Bukhori Muslim).

5. Firman Allah,

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِينَةَ اللَّهِ الَّتِي أَخْرَجَ لِعِبَادِهِ وَالطَّيِّبَاتِ مِنَ الرِّزْقِ…

“Katakanlah: Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah dikeluarkanNya untuk hamba-hambaNya dan (siapa pulakah yang mengharamkan) rezki yang baik? …” (Al A’raf: 32).

As Sunnah menerangkan pula bahwa ada zinah (perhiasan) yang haram. Telah shohih dari Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau pada suatu hari keluar menuju salah seorang shohabat yang pada salah satu tangannya ada sutra dan di tangan lain emas. Kemudian beliau bersabda,

هَذَانِ حَرَامٌ عَلَى ذُكُوْرِ أُمَّتِي حِلٌّ ِلإِنَاثِهَا.

“Kedua hal ini (sutra dan emas) haram bagi para lelaki ummatku dan halal bagi para wanitanya.” (HR Hakim dan beliau menshohihkannya).

Hadits-hadits yang semakna dengan ini banyak dan ma’ruf, baik dalam Shohihain atau selainnya. Dan banyak lagi contoh-contoh lain yang dikenal di kalangan ahlul ilmi tentang hadits dan fikih.

Dari uraian di atas menjadi jelaslah bagi kita tentang pentingnya sunnah dalam syariat Islam, karena jika kita kembalikan pandangan kita untuk melihat contoh yang telah lewat, terlebih lagi dari contoh yang lain yang tidak disebutkan, kita akan yakin bahwasanya tidak ada jalan untuk memahami Al Qur`an dengan pemahaman yang benar kecuali dengan diiringi as sunnah. Contoh yang pertama, pemahaman para shohabat dari kata zhulm yang tersebut dalam ayat menurut zhohirnya saja. Padahal mereka adalah sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, “Yang paling utama dari umat ini yang paling baik hatinya, yang paling dalam ilmunya dan paling tidak berbuat takalluf (membebani dirinya secara berlebihan).”

Namun walaupun demikian mereka salah dalam memahaminya. Kalaulah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam tidak meluruskan kesalahan mereka dan membimbing mereka kepada pengertian yang benar bahwa azh zhulm dalam ayat tersebut maknanya adalah syirik, niscaya kita akan mengikuti kesalahan tersebut.

Akan tetapi Allah ta’ala melindungi kita dari yang demikian dengan keutamaan bimbingan dan sunnah shollallahu ‘alaihi wa sallam.

Contoh yang kedua, kalaulah tidak ada hadits tersebut, minimal kita akan ragu dalam mengqoshor sholat dalam safar pada waktu aman –jika kita berpendapat kepada persyaratan “takut” sebagaimana zhohir ayat- sebagaimana timbul yang demikian pada sebagian shohabat jika mereka tidak melihat Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam mengqoshor, dan mereka pun mengqoshor bersamanya dalam keadaan aman.

Dalam contoh yang ketiga, kalau tidak ada hadits tentu kita akan mengharamkan makanan-makanan yang baik yang dihalalkan bagi kita, yaitu belalang, ikan, hati, dan limpa.

Dalam contoh yang keempat, kalaulah tidak ada hadits yang sebagiannya telah disebutkan niscaya kita akan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah bagi kita melalui lisan NabiNya shollallahu ‘alaihi wa sallam seperti binatang buas atau burung yang mempunyai kuku pencakar.

Demikian pula dalam contoh yang kelima, kalaulah tidak ada hadits, maka kita akan menghalalkan apa yang diharamkan oleh Allah melalui lisan NabiNya yaitu emas dan sutra bagi laki-laki. Oleh karena itu, dari sinilah berkata sebagian salaf,

السُنَّةُ تَقْضِي عَلَى الْكِتَابِ.

“As Sunnah itu menjelaskan (menyampaikan kepada pemahaman) Al Kitab.”

Kesesatan Para Pengingkar Sunnah

Di antara hal yang memprihatinkan bahwa sebagian mufassirin (ahli tafsir) dan penulis-penulis sekarang ini berpendapat dengan membolehkan dua contoh terakhir di atas yaitu membolehkan binatang buas dan memakai emas dan sutra bagi lelaki karena bersandar dengan Al Qur`an semata.

Dewasa ini telah ditemukan satu kelompok yang menamakan qur`aniyyun (inkarus sunnah) yang menafsirkan Al Qur`an dengan nafsu dan akal-akal mereka, tanpa meminta bantuan dengan sunnah yang shohihah.

Bagi mereka as sunnah hanya sebagai pengikut hawa nafsu mereka. Jika sesuai dengan nafsu mereka, maka mereka berpegang dengannya dan yang tidak sesuai mereka buang ke belakang punggung mereka. Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam telah mengisyaratkan tentang mereka dalam hadits yang shohih,

لاَ أَلْفَيَنَّ أَحَدُكُمْ مُتَّكِئًا عَلَى أَرِيْكَتِهِ, يَأْتِيْهِ الأَمْرُ مِنْ أَمْرِي مِمَّا أَمَرْتُ بِهِ أَوْ نَهَيْتُ عَنْهُ, فَيَقُوْلُ: لاَ أَدْرِي! مَا وَجَدْنَا فِي كِتَابِ اللهِ اتَّبَعْنَاهُ.

“Salah seorang dari kalian betul-betul akan menjumpai seseorang yang sedang duduk di singgasananya, kemudian datang utusanku kepadanya dari apa yang aku perintahkan atau aku larang, maka dia berkata: `Aku tidak tahu! Semua yang kami dapatkan di dalam kitab Allah itulah yang kami ikuti.’” (HR Tirmidzi).

Dalam riwayat lain dia berkata, “Apa-apa yang kami jumpai (pada Al Qur`an) sebagai sesuatu yang haram, maka kami mengharamkannya.” Berkata (Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam), “Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al Qur`an dan yang semisalnya (hadits) bersamanya.”

Dan di riwayat yang lain lagi, berkata (Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam), “Ketahuilah, sesungguhnya semua yang dilarang oleh Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam adalah seperti apa yang dilarang Allah.”

Bahkan juga di antara yang memprihatinkan bahwa sebagian penulis yang menulis kitab-kitab dalam syariat Islam dan aqidah Islam menyebutkan dalam muqodimahnya bahwa dia menyusun kitab tersebut tanpa rujukan selain Al Qur`an.

Hadits shohih di atas menjelaskan secara tegas bahwa syariat Islam bukan Al Qur`an saja, melainkan Al Qur`an dan As Sunnah. Barangsiapa berpegang dengan salah satunya, berarti dia tidak berpegang dengan yang lain, padahal masing-masing dari keduanya memerintahkan untuk berpegang dengan yang lain seperti firman Allah dalam surat,

مَنْ يُطِعِ الرَّسُولَ فَقَدْ أَطَاعَ اللَّهَ…

“Barangsiapa mentaati Rosul berarti dia mentaati Allah.” (An Nisaa: 80).

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا

“Maka demi Robbmu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerima dengan sepenuhnya.” (An Nisaa: 65).

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَلاَ مُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَمْرًا أَنْ يَكُونَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْ وَمَنْ يَعْصِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ ضَلَّ ضَلاَلاً مُبِينًا

“Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan RosulNya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan RosulNya maka sungguhlah dia telah sesat, sesat yang nyata.” (Al Ahzab: 36).

… وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا…

“Apa-apa yang disampaikan Rosul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarangnya, tinggalkanlah…” (Al Hasyr: 7).

Sehubungan dengan ayat terakhir ini ada kejadian yang menakjubkan dalam riwayat yang shahih dari Ibnu Mas’ud rodhiyallahu ‘anhu yaitu bahwa seorang wanita datang kepadanya kemudian berkata kepadanya, “Kamukah yang berkata bahwa Allah melaknat namishot (wanita yang mencabut rambut alis) dan wasyimat (wanita yang membuat tatto)…” Ibnu Mas’ud menjawab, “Ya, benar.” Perempuan tadi berkata, “Aku telah membaca kitabullah dari awal sampai akhir tetapi aku tidak menemukan apa yang kamu katakan.” Maka Ibnu Mas’ud menjawab, “Jika kamu betul-betul membacanya, niscaya engkau akan menemukannya. Tidakkah engkau membaca,

… وَمَا ءَاتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا…

“Apa-apa yang disampaikan Rosul kepadamu maka ambillah dan apa-apa yang dilarangnya, tinggalkanlah…” (Al Hasyr: 7).

Aku telah mendengar Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَعَنَ اللهُ النَّامِصَاتِ…

“Allah melaknat An Namishot…” (HR Bukhori Muslim).

Tidak Cukup Pengertian Bahasa Saja untuk Memahami Al Qur`an

Dari penjelasan di atas telah jelas dan terang bahwasanya tidak mungkin seorang memahami Al Qur`an walaupun dia mahir dalam bahasa Arab dan sastra-sastranya jika tidak dibantu dengan sunnah Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam, sunnah qouliyah dan fi’liyah. Karena dia tidak mungkin lebih alim atau mahir dalam bahasa arab dari para sahabat Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam yang Al Qur`an turun dengan bahasa mereka dan pada waktu tersebut belum tercampur bahasa ‘ajam, awam, dan lahn (kesalahan bahasa). Namun walaupun demikian mereka para shohabat telah salah dalam memahami ayat-ayat yang telah lewat, tatkala mereka hanya bersandar dengan bahasa mereka saja. Atas dasar itu jelaslah bahwasanya seseorang jika semakin alim dalam sunnah dia lebih pantas untuk memahami Al Qur`an dan mengambil istimbath hukum darinya dibandingkan orang yang bodoh tentang sunnah. Lalu bagaimana dengan orang yang tidak menganggap sunnah dan tidak pula meliriknya sama sekali? Oleh karena itu sudah merupakan suatu kaidah yang disepakati oleh ahlul ilmi bahwasanya Al Qur`an ditafsirkan dengan as sunnah[1], kemudian dengan perkataan shohabat …dst.

Dari sini jelas bagi kita sebab-sebab kesesatan tokoh-tokoh Ahli kalam dulu dan sekarang serta perbedaan mereka dengan salafus sholih rodhiyallahu ‘anhum dalam keyakinan-keyakinan mereka terutama dalam hukum-hukum mereka, karena jauhnya ahlul kalam dari sunnah dan dangkalnya pengetahuan mereka tentang sunnah dan mereka menghakimi ayat-ayat tentang sifat (Allah) dan yang lainnya dengan akal dan nafsu mereka.

Betapa indahnya perkataan dalam kitab Syarah Aqidah Thohawiyyah hal. 212 cetakan ke-4, “Bagaimana mungkin berbicara tentang pokok agama orang yang tidak menerima agamanya dari kitab dan as sunnah melainkan hanya menerima perkataan si fulan? Walaupun dia mengaku atau menganggap mengambil dari kitabullah tetapi tidak menerima penafsiran kitabullah dari hadits-hadits Rosul, tidak melihat hadits-hadits, tidak pula melihat perkataan-perkataan shohabat dan pengikut mereka yang mengikuti dengan baik (tabi’in) yang disampaikan kepada kita oleh orang terpercaya yang dipilih oleh para pakar. Karena para shohabat tidak hanya meriwayatkan matan Al Qur`an saja tetapi juga menyampaikan maknanya. Mereka tidak belajar Al Qur`an seperti anak kecil, tetapi mempelajarinya dengan makna-maknanya. Barangsiapa tidak menempuh jalan mereka berarti berbicara dengan pikirannya sendiri. Barangsiapa berbicara dengan pikirannya dan sangkaannya sendiri tentang agama Allah ini, serta tidak menerimanya dari al kitab, dia berdosa walaupun kebetulan benar. Barangsiapa mengambil kitab dan sunnah dia mendapatkan pahala walaupun salah (salah berijtihad, ed), tetapi jika benar akan dilipatkan pahalanya.”

Kemudian berkata di hal. 218, “Maka wajib menyempurnakan kepatuhan kepada Rosul shollallahu ‘alaihi wa sallam dan tunduk kepada perintahnya dan menerima khobarnya dengan perkataan dan keyakinan, tidak menentangnya dengan khayalan yang batil yang dinamakan ma’qul (logis), atau menganggap sebagai syubhat (samar) atau meragukannya atau mendahulukan pendapat-pendapat manusia dan sampah-sampah pikiran mereka di atasnya. Kita menyendirikan dia shollallahu ‘alaihi wa sallam dalam berhukum, patuh, tunduk, sebagaimana kita mentauhidkan Allah subhanahu wa ta’ala dalam ibadah, ketundukan, kehinaan, inabah, dan tawakal.

Kesimpulannya: Sesungguhnya wajib atas semua muslim untuk tidak membedakan Al Qur`an dengan as sunnah dari sisi kewajiban mengambil dan berpegang dengan keduanya serta menegakkan syariat di atas keduanya bersama-sama, karena ini adalah penjamin mereka agar tidak berpaling ke kiri dan ke kanan. Agar mereka tidak mundur dengan kesesatan sebagaimana Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam telah menjelaskan,

تَرَكْتُ فِيْكُمْ أَمْرَيْنِ, لَنْ تَضِلُّوْا مَا إِنْ تَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا: كِتَابَ اللهِ وَ سُنَّتِيْ, وَ لَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَيَّ الْحَوْضَ.

“Aku tinggalkan pada kalian dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh dengan keduanya, yaitu kitabullah dan sunnahku. Keduanya tidak akan berselisih sampai keduanya mendatangiku di telaga Haudh.” (HR Malik dan Hakim, sanadnya HASAN).

Peringatan:

Suatu hal penting yang ingin saya (Al Albani) kemukakan adalah bahwa sunnah yang begitu pentingnya dalam syariat hanyalah sunnah yang shohih dari Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam dengan cara-cara ilmiah dan sanad yang shohih yang dikenal oleh ahlul ilmi tentang hadits dan rowi-rowinya. Bukanlah yang dimaksud seperti yang terdapat dalam kitab-kitab yang beraneka-ragam baik dalam masalah tafsir, fikih, targhib dan tarhib, roqoiq, nasehat-nasehat dan lain-lain. Karena dalam kitab-kitab tersebut banyak hadits-hadits yang dhoif dan mungkar serta maudhu’, sebagian lagi tidak diterima dalam Islam seperti hadits Harut dan Marut[2], dan kisah Ghoroniq[3]. Aku (Al Albani) mempunyai risalah yang khusus dalam menolak kisah ini[4]. Dan telah aku bawakan pula sebagian besarnya dalam Silsilah Hadits Dhoifah wa Maudhu’ah yang jumlahnya sampai saat ini mencakup 4000 hadits mencakup hadits dhoif dan maudhu’.

Wajib atas semua ahlul ilmi terutama yang menyebarkan kepada manusia pemahaman dan fatwa-fatwa agar jangan berhujjah dengan hadits-hadits kecuali setelah meyakini keshohihannya karena biasanya kitab-kitab fikih yang dijadikan tempat rujukan penuh dengan hadits-hadits yang lemah, mungkar dan tidak ada asalnya sebagaimana dikenal di kalangan para ulama.

Kelemahan Hadits Mu’adz tentang Ro`yu

Sebelum mengakhiri uraian ini aku (Al Albani) memandang perlu memalingkan perhatian ikhwan sekalian kepada sebuah hadits yang masyhur yang sering dibawakan dalam kitab-kitab ushul fikih, yaitu berkisar tentang dhoifnya hadits tersebut dari sisi sanadnya dan karena bertentangan dengan larangan membedakan antara kitab dan as sunnah (dalam syariat) serta wajibnya berpegang dengan keduanya secara bersama, yaitu hadits Mu’adz bin Jabal rodhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shollallahu ‘alaihi wa sallam berkata kepadanya untuk mengutusnya ke Yaman,

بِمَا تَحْكُمُ؟ قَالَ: بِكِتَابِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ؟ قَالَ: بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ. قَالَ: فَإِنْ لَمْ تَجِدْ؟ قَالَ: أَجْتَهِدُ رَأْيِيْ وَ لاَ آلُوْ. قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِيْ وَفَّقَ رَسُوْلَ رَسُوْلِ اللهِ لِمَا يُحِبُّ رَسُوْلُ اللهِ.

“Dengan apa yang kamu akan berhukum?” Mu’adz berkata, “Dengan kitabullah.” “Jika tidak engkau dapati?” Dijawab, “Dengan sunnah Rosulullah.” “Jika tidak engkau dapati di sunnah Rosulullah?” Mu’adz menjawab, “Aku akan berijtihad dengan ro`yu dan aku akan berusaha keras.” Maka Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah membimbing utusan Rosulullah kepada perkara yang dicintainya.”

Tentang kelemahan sanadnya, tidak layak untuk dibahas sekarang. Aku telah menjelaskannya dengan penjelasan yang cukup dan mungkin belum ada yang mendahului saya dalam pembahasan itu dalam Silsilah Adh Dhoifah no. 885. Cukup bagiku dalam kesempatan ini untuk menyebutkan bahwa Amirul Mu`minin dalam masalah hadits, yaitu Imam Bukhori rohimahullah, berkata tentang hadits ini, “Hadits munkar.” Setelah itu layak bagiku untuk mulai menjelaskan pertentangan yang telah aku sebutkan tadi.

Aku katakan, hadits Mu’adz ini memberikan manhaj bagi seseorang hakum dalam berhukum dengan tiga marhalah (Al Qur`an, As Sunnah, dan ro`yu), tidak boleh mencari hukum dengan ro`yu kecuali setelah hukum itu tidak ditemui dalam sunnah, dan tidak boleh pula mencari suatu hukum dari sunnah kecuali jika tidak ditemui dalam Al Qur`an. Manhaj ini jika dilihat dari sisi “ro`yu” adalah benar menurut seluruh ulama. Mereka berkata juga, “Jika telah ada atsar, maka batallah nazhor (penyelidikan).” Tetapi (manhaj ini) jika dilihat dari sisi “sunnah” tidaklah benar, karena sunnah adalah hakim atas Al Qur`an. Maka wajib membahas / mencari hukum dalam sunnah walaupun disangka ada hukum tersebut dalam Al Qur`an. Tidaklah kedudukan Al Qur`an dengan sunnah seperti kedudukan ro`yu dengan sunnah, tidak sekali lagi tidak! Tetapi wajib menganggap Al Qur`an dan As Sunnah sebagai sutau sumber yang tidak dapat dipisahkan selamanya sebagaimana yang telah disyaratkan oleh sabda Rosulullah shollallahu ‘alaihi wa sallam, “Ketahuilah aku diberi Al Qur`an dan yang semisalnya bersamanya (yakni As Sunnah).” Dan sabdanya, “Keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendatangiku di Haudh (telaga).”

Pengelompokan antara Al Qur`an dan as sunnah tidaklah benar karena mengharuskan pemisahan antara keduanya dan hal ini adalah batil, seperti telah disebutkan penjelasannya. Inilah yang ingin aku ingatkan. Jika benar itu datangnya dari Allah dan jika salah itu dari diriku sendiri. Kepada Allah aku meminta agar menjagaku dan anda sekalian dari kesalahan-kesalahan dan segala sesuatu yang tidak diridhoiNya dan penutup doa kita Alhamdulillah.

Diterjemahkan dari kitab Manzilatus Sunnah, karya Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani oleh Abdurrahman Mubarak.

sumber :http://sunniy.wordpress.com/2007/08/24/kedudukan-as-sunnah-dalam-islam/


Tiada ulasan: